Minggu, 17 Agustus 2014

Budawaka - Budakresna

Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh Sanghyang Rudra.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 17 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Budawaka - Budakresna
PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG

Sri Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang lahir dari permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah hilang entah ke mana. Patih Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke segala penjuru namun tidak mendapatkan hasil.

Tiba-tiba datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Gilingaya. Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja Birawa karena berani menentang niatnya yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya.

Sri Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut asalkan dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi segera mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini berada di Kahyangan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Namun, ia mengaku tidak mengetahui caranya untuk bisa sampai ke sana.

Batara Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia tidak berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian mengajukan diri untuk mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Maka, Batara Reksakadi pun menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan Saptapratala untuk dipelajari Batara Rasikadi.

BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI


Dengan berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana karena telah diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga.

Kedatangan Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan niatnya, asalkan ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran. Permintaan ini sebenarnya adalah sindiran, bahwa Batara Rasikadi harus merebut Dewi Brahmaniyari melalui perkelahian.

Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan pertarungan itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara Rasikadi membawa pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU


Batara Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja Budawaka dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi.

Akan tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk bisa menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang dewi dan masing-masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak menjadi suaminya. Batara Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa membawa pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan itu bisa terjadi berkat peta yang digambarkannya. Sementara itu, Batara Sukadi berpendapat, bahwa peta tersebut bisa digambar adalah karena ia yang pertama kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang dewi yang disembunyikan di Kahyangan Saptapratala.

Sri Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga bersaudara itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba datang pula seorang raja raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan Prajantaka yang mengaku telah mendapat perintah dewata melalui mimpi supaya mempersunting salah satu putri Sri Maharaja Budawaka demi kemakmuran negerinya.

Hal ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun berjanji akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu memberikan keadilan kepada ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu. Prabu Jambuwana segera mempelajari apa yang sebenarnya telah terjadi, kemudian ia menyampaikan pendapat bahwa Dewi Brahmaniyari hanya pantas diserahkan kepada laki-laki yang berani bertaruh nyawa demi melindunginya.

Sri Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas jasa-jasa mereka, yaitu masing-masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri Citrahoya dan Wameswara. Sesuai janjinya di awal tadi, lamaran Prabu Jambuwana pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan menikahi adik Dewi Brahmaniyari yang bernama Dewi Brahmaniyoni.

Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua pasangan tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu Jambuwana dengan Dewi Brahmaniyoni.

PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Prabu Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat ayahnya, bahwa Sri Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada mulanya menjadi penguasa di Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja Balya. Kemudian pada suatu hari Sri Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja Kerajaan Medang Kamulan sehingga terusir meninggalkan Medang Siwanda. Sri Maharaja Budawaka kemudian membangun Kerajaan Gilingaya dan menjadi raja di sana sampai saat ini.

Prabu Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka berangkat menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah pertempuran besar. Melihat pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja Budakresna akhirnya turun sendiri ke medan perang dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu terkena senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh terpotong menjadi dua.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA


Setelah suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun memutuskan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian menantunya, sekaligus membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu.

Begitu tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna. Rupanya telah terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak dipedulikan Sri Maharaja Budawaka. Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna adalah anggota keluarga Sri Maharaja Birawa dan bisa menjadi sasaran pelampiasan balas dendamnya.

Maka, terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan mereka kalah dan menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua. Sampai akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan yang melerai perkelahian itu.

Dewa yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu. Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena masing-masing adalah penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah saudara kandung sesama putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun kini tidak saling mengenali.

Sri Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna atas segala kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa sangat malu tidak bisa mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial dan menghapuskan kenangan buruk itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama Kerajaan Medang Kamulan menjadi Kerajaan Purwacarita.

Setelah dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya.

BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA


Sri Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat malu dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat sangat itu, ia pun tidak bersemangat lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih kembali ke wujud Batara Brahma. Maka, setelah mewariskan takhta Kerajaan Gilingaya kepada sang menantu, yaitu Batara Rasikadi, ia pun kembali ke tempat tinggalnya di Kahyangan Daksinageni.

Sepeninggal sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang baru, dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri utama tetap dijabat oleh Patih Suweda.

Sementara itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu Brahmakadali. Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya.

Batara Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di mana ia berhasil menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar