Senin, 08 September 2014

Rembuculung Tigas

Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba sebagai pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala Ditya Kalarahu yang juga bernama Ditya Rembuculung.

Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa pengembangan seperlunya.

Kediri, 08 September 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Batara Indra

BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA

Pada suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya. Batara Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Batara Guru duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat berkenan melihat hasil kerja Batara Indra yang telah membangun Kahyangan Suralaya di Gunung Mahameru sebagai cabang Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai Marakata, Taman Nadisara, Repat Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna, Sumur Golang Galing, Wot Ogal Agil, sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah Candradimuka, semua dibuat sama persis dengan aslinya.

Demikianlah, jika di Kahyangan Jonggringsalaka Batara Guru berwenang mengangkat manusia yang berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra memiliki wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa memberikan umur panjang kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan Suralaya tidak terdapat air kehidupan Tirtamarta Kamandanu.

Batara Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya ini justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki kembaran bernama Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan Suralaya. Jika dulu Tirtamarta Kamandanu diperoleh sang leluhur Sanghyang Nurcahya melalui tapa brata di Kutub Utara, maka Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan. 

BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA

Setelah menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati untuk berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian, para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahadewa, Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki.

Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan. Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa dulu.

Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala. Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu, yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba.

Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa lainnya ikut pergi mengawalnya.

BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA

Batara Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para murid yang terdiri dari kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama Ditya Kalarahu bersama anaknya, yang bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu Batara Kala mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu telah menamatkan semua pelajaran darinya, dan berhak menerima murid sendiri untuk ikut menyebarkan Agama Kala. Maka, Batara Kala pun mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta bergelar Resi Rembuculung, sedangkan Ditya Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar Putut Jantaka.

Tidak lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah mengira kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu. Maka, ia pun memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang serangan tersebut.

Resi Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara Indra dan rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai di tepi Hutan Krendawana tersebut.

PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA

Setelah bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur. Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih menyimpan dendam lama. Batara Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk mengundang para raksasa, bukan untuk berperang.

Tiba-tiba Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena teringat beberapa kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain sebagai Ki Dalang Kandabuwana, Jaka Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara Wisnu berusaha menyabarkannya dan mengatakan bahwa itu semua ia lakukan sama sekali bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara ketertiban Pulau Jawa.

Setelah suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara Indra ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba dari dalamnya.

Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya menyatakan setuju mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak yang sama.

Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan Suralaya.

PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA

Setelah para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut Selatan, sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri berada.

Batara Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya perlahan-lahan. Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air kehidupan akan musnah dan gagal diperoleh.

Untuk itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi naga. Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus menyambung tubuh mereka supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut secara sempurna. Selanjutnya, para dewa dan para raksasa berjajar-jajar menjadikan tubuh kedua naga itu sebagai pegangan, lalu mereka bersama-sama bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara perlahan-lahan (pada zaman sekarang seperti membuka baut, di mana kedua naga yang membelit gunung berfungsi sebagai kunci ring).

Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya.

Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.

Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada pun berpamitan untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.

RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh meninggalkan Hutan Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan. Mengenai permintaan kedua akan dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang mencapai kesempurnaan hidup, tentu dapat diangkat menjadi dewa dan boleh meminum Tirtamarta Siwamba.

Batara Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama Kahyangan Selamangumpeng. Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya diserahkan kepada Resi Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat mereka mengajarkan Agama Kala.

Batara Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi Rembuculung tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir jangan-jangan Batara Indra kelak akan mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk melaksanakan niat tersebut.

Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil mencuri cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.

BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke rombongannya.

Resi Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud seorang wanita cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa itu mabuk kepayang dan masing-masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar dan berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi Malini merebut Tirtamarta Siwamba dan membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam wujud Batara Wisnu.

Begitu Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka. Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka mencegahnya. Putut Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji Batara Indra saja. Namun, Resi Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun berangkat sendiri mengejar ke Kahyangan Suralaya.

BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG

Resi Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara Indra berniat meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirtamarta Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru itu sedang berbaris di hadapan Batara Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia segera mengubah wujudnya menjadi seorang dewa pula dan menyelinap masuk ke dalam barisan.

Batara Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah wujud dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara Wisnu. Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung sedang mendapatkan giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala raksasa itu.

Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka mulutnya lebar-lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit hatinya.

Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung tersebut ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara Surya dan Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari ataupun bulan.

Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya kepada Sri Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.

Batara Surya dan Batara Candra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar