Selasa, 08 September 2015

Matsyapati Wisuda


Kisah ini menceritakan kematian Prabu Wasupati dan terciptanya Telaga Watari, serta pelantikan Raden Durgandana menjadi raja Wirata yang bergelar Prabu Matsyapati. Kisah dilanjutkan dengan pelantikan Prabu Citranggada sebagai raja Hastina untuk menggantikan Prabu Santanu yang menjadi bagawan. Kisah ditutup dengan kematian Prabu Citranggada di tangan seorang gandarwa yang bernama sama.

Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Khusus untuk cerita kematian Prabu Citranggada saya olah dari sumber Mahabharata karya Resi Wyasa.

Kediri, 18 Maret 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Matsyapati

PRABU WASUPATI JATUH HATI KEPADA DEWI WATARI

Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata sedang dilanda asmara karena jatuh cinta kepada Dewi Watari, mantan istri mendiang Resi Parasara. Sejak Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala diangkat sebagai punggawa, Dewi Watari pun ikut serta menetap di istana Wirata. Karena sering berjumpa, lama-lama dalam hati Prabu Wasupati tumbuh rasa cinta kepada Dewi Watari.

Dengan segala cara, Prabu Wasupati berusaha menarik perhatian Dewi Watari. Berbagai hadiah pun dikirimkan ke rumah wanita itu namun semuanya ditolak dengan halus. Dewi Watari adalah istri Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara pernah berhubungan dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Wasupati. Itu artinya, Prabu Wasupati adalah ayah mertua Resi Parasara, sehingga tidak pantas apabila menyatakan cinta kepada Dewi Watari. Namun, Prabu Wasupati membantah alasan itu karena Resi Parasara tidak pernah menikahi putrinya secara sah, sehingga tidak pernah ia anggap sebagai menantu.

Dewi Watari tetap merasa keberatan karena putrinya, yaitu Dewi Sudaksina telah menikah dengan Raden Durgandana, putra Prabu Wasupati. Itu artinya, hubungannya dengan Prabu Wasupati adalah besan, sehingga tidak pantas apabila sesama besan menjadi suami-istri. Namun, Prabu Wasupati membantah alasan tersebut karena Dewi Sudaksina bukan anak kandung Dewi Watari.

Karena terus-menerus ditolak, Prabu Wasupati akhirnya hilang kesabaran. Ia pun berusaha memaksa Dewi Watari menerima cintanya dan mengancam wanita itu dengan kekerasan. Dewi Watari merasa ketakutan dan melarikan diri. Karena sudah dikuasai nafsu birahi, Prabu Wasupati pun mengejar ke mana janda Resi Parasara itu pergi.

KEMATIAN DEWI WATARI DAN PRABU WASUPATI

Dewi Watari berlari sekencang-kencangnya menuju ke arah Gunung Reksasrengga, tempat tinggalnya yang semula. Namun, pelariannya terhalang sebuah telaga di luar Kota Wirata. Tidak lama kemudian Prabu Wasupati datang menyusul dan memintanya supaya menurut saja karena percuma apabila tetap melarikan diri. Akan tetapi, Dewi Watari sangat teguh pada pendiriannya. Ia pernah bersumpah seumur hidup hanya menikah satu kali saja, meskipun sang suami (Resi Parasara) tidak pernah mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Karena Prabu Wasupati sudah gelap mata dan berniat memerkosa dirinya, Dewi Watari akhirnya memilih bunuh diri dengan cara terjun ke dalam telaga di depannya. Prabu Wasupati yang juga berjuluk Prabu Dirgabahu segera mengulurkan kedua lengannya yang seketika berubah menjadi sangat panjang untuk menarik keluar Dewi Watari. Akan tetapi, sekian lama ia mengaduk-aduk air telaga tetap saja tidak mampu menemukan tubuh wanita itu. Entah mengapa jasad Dewi Watari seolah-olah lenyap dan bersatu dengan air telaga tersebut.

Prabu Wasupati yang sangat kecewa akhirnya pulang ke istana Wirata. Ia menyesal telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas seorang wanita demi menuruti hawa nafsu, apalagi wanita itu akhirnya memilih mati bunuh diri. Karena merasa sangat bersalah, akhirnya Prabu Wasupati pun jatuh sakit.

Setelah dirawat beberapa hari, sakit Prabu Wasupati justru bertambah parah dan tak tertolong lagi. Sebelum meninggal dunia, Prabu Wasupati sempat meminta maaf kepada sang permaisuri Dewi Swargandini atas perbuatannya terhadap Dewi Watari. Begitu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Dewi Swargandini merasa sangat kecewa dan ikut sakit pula. Beberapa hari kemudian, sang permaisuri yang memiliki nama asli Endang Adrika itu pun meninggal dunia menyusul suaminya.

RADEN DURGANDANA DILANTIK MENJADI PRABU MATSYAPATI

Setelah masa berkabung usai, Raden Durgandana sang pangeran mahkota dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Matsyapati. Matsya artinya “ikan”, sedangkan Pati artinya “pemimpin”. Ia sengaja memakai gelar tersebut sebagai pengingat bahwa semasa kecil dulu pernah tinggal di Desa Matsya karena menderita penyakit bau amis bersama kakaknya, yaitu Dewi Durgandini yang kini telah menjadi permaisuri di Kerajaan Hastina.

Prabu Matsyapati lalu mengangkat adik iparnya, yaitu Arya Kincaka sebagai patih. Sementara itu, Arya Rupakinca dan Arya Rajamala sebagai senapati kerajaan. Namun demikian, Arya Rajamala tidak hadir dalam acara pelantikan tersebut.

ARYA RAJAMALA MEMBANGUN TELAGA WATARI

Arya Rajamala yang tidak menghadiri upacara pelantikan ternyata sedang berada di tepi telaga tempat Dewi Watari meninggal. Di antara semua anak Resi Parasara, memang dialah yang menjadi kesayangan Dewi Watari. Maka, sejak Dewi Watari tewas menceburkan diri ke dalam telaga dan jasadnya musnah, Arya Rajamala pun setiap hari tinggal di tempat itu. Di sekitar telaga ia menanam pohon penghias dan menata bebatuan agar lingkungan menjadi lebih indah. Ia berharap roh Dewi Watari yang bersemayam di dalam telaga merasa bahagia menikmati keindahan telaga yang ia bangun tersebut.

Telaga tempat Dewi Watari meninggal kini berubah menjadi sangat indah dan tidak lagi gersang seperti sebelumnya. Untuk mengenang ibunya, Arya Rajamala pun memberinya nama Telaga Watari. Kini ia merasa betah tinggal di situ dan tidak ingin lagi pulang ke istana Wirata maupun ke Kincapura.

Pada suatu malam, roh Dewi Watari muncul menampakkan diri. Arya Rajamala sangat gembira dan segera menyembah memberi hormat kepadanya. Dewi Watari berterima kasih atas segala usaha Arya Rajamala menyenangkan dirinya dengan membangun telaga tempatnya bersemayam menjadi lebih indah. Namun, ia tidak setuju apabila Arya Rajamala tetap tinggal di tepi telaga ini dan melupakan kewajibannya sebagai senapati Kerajaan Wirata.

Arya Rajamala tidak sudi kembali ke istana. Ia masih marah kepada keluarga Prabu Wasupati yang telah mencelakai Dewi Watari. Ia juga kesal kepada kedua kakaknya, yaitu Patih Kincaka dan Arya Rupakinca yang tidak peduli kepada ibu mereka, dan lebih memilih menerima jabatan yang diberikan oleh Prabu Matsyapati.

Roh Dewi Watari pun menasihati Arya Rajamala agar tidak menyimpan dendam karena hanya akan merusak jiwa. Meskipun Prabu Wasupati berusaha memaksanya, namun dia sendiri yang memilih bunuh diri mencebur ke dalam telaga. Lagipula Prabu Wasupati telah menyesali perbuatannya hingga jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kini yang menjadi raja adalah Prabu Matsyapati yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Untuk itu, Dewi Watari menasihati Arya Rajamala agar tetap mengabdi kepada raja yang baru tersebut dan melupakan segala kekesalannya.

Arya Rajamala kini telah terbuka hatinya dan membenarkan nasihat Dewi Watari. Ia pun mohon restu kepada sang ibu agar dapat mengemban jabatan sebagai senapati Kerajaan Wirata dengan sebaik-baiknya.

Dewi Watari merestui putra kesayangannya itu. Ia pun memberkati Arya Rajamala berumur panjang dan sulit dibunuh. Apabila kelak Arya Rajamala berperang melawan musuh sakti dan menderita luka parah atau bahkan kehilangan nyawa, maka tubuhnya harus segera diceburkan ke dalam Telaga Watari. Dewi Watari memberikan anugerah bahwa dengan cara demikian maka Arya Rajamala akan segera pulih kembali seperti sedia kala.

Arya Rajamala menerima nasihat tersebut dengan senang hati dan sangat berterima kasih. Roh Dewi Watari lalu lenyap dari pandangan. Arya Rajamala pun undur diri kembali ke istana Wirata dengan penuh semangat baru.

PRABU SANTANU TURUN TAKHTA DAN MENJADI PENDETA

Sementara itu, Prabu Santanu dan Dewi Durgandini telah kembali ke Kerajaan Hastina setelah melayat Prabu Wasupati dan menyaksikan pelantikan Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata. Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Prabu Santanu kini terbuka pandangannya bahwa seorang raja besar yang paling dihormati di Tanah Jawa, yaitu mertuanya sendiri, telah meninggal dunia karena sulit mengendalikan nafsu birahi. Ia pun merasa dirinya sudah tua dan sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa. Kini keempat anaknya pun sudah tumbuh dewasa semua. Yang tertua adalah Raden Bisma yang lahir dari Dewi Ganggawati, sedangkan yang tiga lainnya adalah Raden Citranggada, Raden Citrawirya, dan Dewi Bandondari yang lahir dari Dewi Durgandini.

Maka pada hari yang ditentukan, Prabu Santanu pun mengumumkan pengunduran dirinya sebagai raja Hastina. Mulai hari itu, Prabu Santanu menjadi pendeta bergelar Bagawan Santanu yang tinggal sebuah padepokan bernama Talkanda. Di sana ia ingin hidup menyepi agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Sesuai perjanjian antara Raden Bisma dengan Dewi Durgandini dulu, maka yang diangkat sebagai raja baru di Hastina adalah Raden Citranggada, bergelar Prabu Citranggada. Adapun jabatan menteri utama tetap dipegang oleh Patih Basusara.

PRABU CITRANGGADA TEWAS DIBUNUH GANDARWA

Pada suatu hari Prabu Citranggada pergi berburu ke dalam hutan. Karena terlalu asyik mengejar seekor kijang, ia pun terpisah dari rombongan. Tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok makhluk halus tinggi besar yang menyeramkan, dan mengaku bernama Gandarwa Citranggada.

Prabu Citranggada heran melihat ada gandarwa yang menyamai namanya. Ia pun meminta gandarwa tersebut mengganti nama. Sebaliknya, justru Gandarwa Citranggada yang meminta Prabu Citranggada supaya berganti nama. Keduanya lalu bertengkar tidak ada yang mau mengalah. Pertengkaran itu pun akhirnya berubah menjadi pertarungan sengit di antara mereka.

Demikianlah, setelah bertarung cukup lama, Prabu Citranggada akhirnya tewas di tangan Gandarwa Citranggada. Pada saat itulah tiba-tiba Resi Abyasa datang bersama panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Melihat ada seorang raja muda yang tewas dibunuh secara keji oleh seorang gandarwa, ia langsung turun tangan. Dengan mengerahkan Aji Pengabaran yang pernah dipelajarinya dari Gandarwaraja Swala dulu, Resi Abyasa pun berhasil menewaskan Gandarwa Citranggada.

RESI ABYASA BERTEMU DEWI DURGANDINI

Tidak lama kemudian muncul Raden Bisma bersama para prajurit yang datang untuk mencari hilangnya Prabu Citranggada. Orang-orang Hastina itu sangat terkejut melihat raja mereka telah tewas, dan sempat menaruh curiga jangan-jangan Resi Abyasa yang telah membunuh Prabu Citranggada.

Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan melerai Raden Bisma dan Resi Abyasa yang hendak bertarung. Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Citranggada sudah ditakdirkan mati muda dibunuh Gandarwa Citranggada. Ia juga menjelaskan bahwa Gandarwa Citranggada telah tewas pula di tangan Resi Abyasa yang merupakan putra sulung Dewi Durgandini dari hubungannya dengan Resi Parasara dua puluh lima tahun silam. Setelah memberikan penjelasan demikian, Batara Narada lalu kembali ke kahyangan.

Menyadari kekeliruannya, Raden Bisma meminta maaf dan merangkul Resi Abyasa bagaikan adiknya sendiri. Mereka lalu bersama-sama membawa jasad Prabu Citranggada kembali ke Kerajaan Hastina.

Dewi Durgandini dan Raden Citrawirya di istana sangat terkejut dan berduka melihat Prabu Citranggada telah kembali dalam keadaan tak bernyawa. Rasa sedih Dewi Durgandini bercampur gembira karena berjumpa dengan putra sulungnya yang kini telah dewasa, yaitu Resi Abyasa.

RADEN CITRAWIRYA MENJADI RAJA HASTINA YANG BARU

Bagawan Santanu telah mendengar berita kematian Prabu Citranggada dan ia pun bergegas datang ke Kerajaan Hastina untuk memakamkan putranya itu. Suasana haru mewarnai upacara tersebut.

Setelah masa berkabung usai, Bagawan Santanu melantik Raden Citrawirya menjadi raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Citrawirya menggantikan kakaknya. Resi Abyasa ikut menyaksikan pelantikan tersebut. Setelah usai, ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga. Ia berjanji kepada Bagawan Santanu dan Dewi Durgandini bahwa dirinya akan selalu siap membantu Kerajaan Hastina apabila dilanda kerepotan. Dewi Durgandini pun melepas kepergian putra sulungnya itu dengan perasaan haru.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------














3 komentar: