Selasa, 24 Februari 2015

Wirata Anyar Binangun

Kisah ini menceritakan Prabu Basupati membangun istana Wirata baru di Andongwilis dan untuk kemudian bertakhta di sana. Dikisahkan pula Raden Darmaruci putra Patih Sadaskara diutus pergi ke Gilingwesi untuk mengambil pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa yang disimpan Pisacaraja Bahli. Dengan menggunakan Minyak Pranawa, Prabu Basupati dapat melihat alam gaib dan bertemu Sedulur Papat Lima Pancer.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 24 Februari 2015

Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU BASUPATI HENDAK MEMBANGUN ISTANA BARU

Prabu Basupati telah satu tahun bertakhta di Kerajaan Purwacarita. Meskipun istana tempatnya tinggal sangat indah, namun ia merasa kurang nyaman. Resi Wisama menjelaskan bahwa sebuah istana yang pernah mengalami kekalahan oleh serbuan musuh memang tidak baik untuk ditempati sebagai pusat pemerintahan. Mendengar itu, Prabu Basupati pun mengutus Patih Wakiswara untuk mencari lahan kosong sebagai tempat mendirikan istana yang baru.

Patih Waksiwara berangkat dengan ditemani kedua pamannya, yaitu Arya Brahmanakestu dan Arya Brahmanaweda. Arya Brahmanakestu mengusulkan untuk menemui besannya yang tinggal di Desa Wasutira, yaitu Kyai Wrigu dan bertanya tentang lahan yang cocok untuk membangun istana. Patih Wakiswara setuju dan segera membawa rombongan menuju ke sana.

Kyai Wrigu dan Ken Sangki (istrinya) menyambut kedatangan para pembesar itu dengan hormat. Ketika Patih Wakiswara menanyakan tentang lahan yang cocok untuk membangun istana, Kyai Wrigu mengusulkan sebaiknya di Desa Andongwilis saja. Patih Waksiwara bergegas ke sana untuk memeriksa dan ternyata ucapan Kyai Wrigu terbukti benar. Desa Andongwilis memiliki tanah yang rata dan luas, serta mudah dijangkau.

Patih Waksiwara segera melapor kepada Prabu Basupati tentang Desa Andongwilis tersebut. Maka, Prabu Basupati pun mengeluarkan perintah kepada Patih Wakiswara untuk memulai pembangunan istana baru di sana.

EMPU KANOMAYASA TEWAS SAAT BEKERJA

Patih Waksiwara memimpin pembangunan istana baru di Desa Andongwilis. Ketika para pekerja menggali tanah untuk meletakkan batu pondasi, mereka menemukan sebongkah batu logam Brahmakadali. Patih Waksiwara pun mengirimkan batu logam tersebut kepada Prabu Basupati di Purwacarita.

Prabu Basupati segera memanggil dua bersaudara pembuat senjata, yaitu Empu Dewayasa dan Empu Kanomayasa untuk menempa batu logam Brahmakadali menjadi cangkul dan beliung yang dapat digunakan para pekerja menggali tanah. Namun, Empu Kanomayasa merasa sayang jika logam sebagus ini ditempa menjadi peralatan. Ia mengusulkan supaya sebagian dari batu tersebut ditempa menjadi senjata pusaka. Prabu Basupati setuju. Maka, Empu Dewayasa pun diperintahkan untuk membuat peralatan, sedangkan Empu Kanomayasa diperintahkan membuat persenjataan dari batu logam Brahmakadali tersebut.

Empu Dewayasa dan Empu Kanomayasa mulai bekerja. Karena membuat senjata pusaka, Empu Kanomayasa pun mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Pada saat itulah dari jari-jari tangannya keluar api yang berkobar membakar dirinya sendiri sampai tewas.

Prabu Basupati sangat sedih mendengar berita itu. Ia pun menjemput janda Empu Kanomayasa, yaitu Dewi Kaniraras beserta kedua anaknya yang masih kecil, bernama Raden Prawa dan Dewi Prawita, supaya untuk selanjutnya tinggal di istana.

RESI BRAHMANARADYA MENGGANTIKAN RESI WISAMA YANG MENINGGAL

Beberapa hari kemudian, Prabu Basupati kembali mendapatkan berita duka, yaitu meninggalnya Resi Wisama, kepala pandita kerajaan. Setelah masa berkabung usai, Prabu Basupati pun mengangkat mertuanya (ayah Dewi Wakiswari dan Patih Wakiswara) sebagai kepala pandita yang baru, bergelar Resi Brahmanaradya.

Pada suatu hari Prabu Basupati dan Resi Brahmanaradya membicarakan kepandaian mendiang Resi Wisama dalam hal ilmu gaib. Prabu Basupati tertarik dan ingin sekali melihat seperti apa keadaan di alam sana. Resi Brahmanaradya bercerita bahwa kakak sepupunya, yaitu mendiang Prabu Brahmasatapa, memiliki abdi bernama Pisacaraja Bahli yang merupakan raja makhluk halus penjaga sanggar pemujaan di istana Gilingwesi. Konon Pisacaraja Bahli menyimpan tiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa, yaitu Mutiara Matuwahni, Sela Timpuru, dan Minyak Pranawa. Resi Brahmanaradya menjelaskan bahwa Minyak Pranawa itulah yang dapat digunakan untuk melihat keadaan alam gaib, yaitu dengan cara dioleskan pada kedua mata dan telinga.

Prabu Basupati semakin tertarik dan ingin memiliki ketiga pusaka tersebut. Resi Brahmanaradya menjelaskan bahwa Pisacaraja Bahli pernah berhutang budi kepada mendiang Patih Sadaskara. Maka, orang yang tepat untuk diutus mengambil ketiga pusaka itu adalah putra Patih Sadaskara yang bernama Raden Darmaruci.

Prabu Basupati pun memanggil Raden Darmaruci yang kini hidup sebatang kara. Meskipun ayahnya (Patih Sadaskara) gugur di tangan Prabu Basupati, dan ibunya (Dewi Satapi) menyusul bunuh diri, Raden Darmaruci mengaku tidak menyimpan dendam karena itu sudah menjadi suratan takdir. Prabu Basupati sangat senang mendengar kebesaran hati pemuda itu. Ia lalu mengungkapkan keinginannya untuk memiliki ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa yang kini dirawat Pisacaraja Bahli di istana Gilingwesi. Karena Pisacaraja Bahli pernah berhutang budi kepada mendiang Patih Sadaskara, maka Prabu Basupati pun menugasi Raden Darmaruci untuk mengambil ketiga pusaka tersebut.

Raden Darmaruci mematuhi perintah namun ia belum pernah pergi ke Gilingwesi, meskipun ibunya berasal dari sana. Maka, Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Brahmanakestu untuk menemani kepergian pemuda itu.

RADEN DARMARUCI BERTEMU PISACARAJA BAHLI

Raden Darmaruci dan Arya Brahmanakestu telah tiba di istana Gilingwesi. Sejak Prabu Parikenan gugur dan Dewi Brahmaneki pindah ke Wirata, istana Gilingwesi menjadi kosong, namun tetap dirawat oleh Arya Brahmangkara, putra mendiang Patih Brahmasadana. Melihat Arya Brahmanakestu datang bersama seorang pemuda, Arya Brahmangkara pun menyambut dengan hormat. Arya Brahmanakestu lalu memperkenalkan Raden Darmaruci sebagai keponakan mendiang Prabu Parikenan, yaitu putra Dewi Satapi. Arya Brahmangkara sangat senang dan ia pun memerintahkan putrinya yang bernama Dewi Anitri untuk menyiapkan perjamuan.

Setelah perjamuan selesai, Arya Brahmangkara mengantarkan Raden Darmaruci dan Arya Brahmanakestu menuju sanggar pemujaan. Mereka lalu membakar dupa untuk memanggil keluar Pisacaraja Bahli. Raja makhluk halus itu pun muncul dan heran melihat wajah Raden Darmaruci serta bau badannya yang sangat mirip Patih Sadaskara. Raden Darmaruci pun memperkenalkan dirinya sebagai putra tunggal Patih Sadaskara dan Dewi Satapi. Ia diutus Prabu Basupati untuk mengambil ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa, yaitu Mutiara Matuwahni, Sela Timpuru, dan Minyak Pranawa. Pisacaraja Bahli sendiri telah mendengar bahwa Prabu Basupati kini menjadi penguasa tunggal di pulau jawa. Maka, ia pun mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa kepada Raden Darmaruci.

Raden Darmaruci menerima ketiga pusaka itu dan segera kembali ke Kerajaan Purwacarita bersama Arya Brahmanakestu.

PRABU BASUPATI PINDAH KE ISTANA BARU

Prabu Basupati di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Raden Darmaruci dan Arya Brahmanakestu. Ia pun menerima ketiga pusaka peninggalan Prabu Brahmasatapa dengan senang hati. Sebagai hadiah, Raden Darmaruci diangkat sebagai punggawa, bergelar Arya Darmaruci.

Bersamaan dengan itu, Patih Wakiswara datang pula dan melaporkan bahwa pembangunan istana baru di Andongwilis telah selesai. Prabu Basupati gembira mendengarnya. Pada hari yang ditentukan, ia pun memimpin upacara pindah istana, yaitu meninggalkan Purwacarita menuju ke Andongwilis.

Sesampainya di sana, Prabu Basupati duduk di takhta dan mengumumkan untuk mengubah nama Andongwilis menjadi Wirata, sedangkan istana Wirata yang lama diganti namanya menjadi Medangkawuri. Kyai Wrigu selaku murid mendiang Resi Wisama mendapat tugas untuk merawat istana Medangkawuri tersebut, dengan bergelar Resi Wrigu. Sementara itu, istana Gilingwesi tetap dirawat oleh Arya Brahmangkara, yang kemudian mendapatkan gelar baru, yaitu Resi Brahmastungkara.

Prabu Basupati juga mengangkat Arya Brahmanaweda dan Arya Brahmanakestu menjadi pandita, bergelar Resi Brahmanaweda dan Resi Brahmanakestu. Kedudukan mereka sebagai punggawa kemudian digantikan oleh Raden Suganda (putra Resi Brahmanakestu), dengan bergelar Arya Suganda. Atas usul Resi Brahmanakestu pula, Prabu Basupati lalu menikahkan Arya Darmaruci dengan Dewi Anitri, putri Resi Brahmastungkara.

SEDULUR PAPAT LIMA PANCER

Pada suatu hari, Prabu Basupati yang masih penasaran dengan alam gaib berniat mencoba khasiat Minyak Pranawa. Setelah dioleskan pada mata dan telinga, Prabu Basupati dapat melihat sebuah istana gaib berwarna keemasan. Dari istana itu muncul seorang laki-laki berwarna kuning yang menjemput Prabu Basupati dan mengatakan bahwa dirinya dipanggil kakak tertua.

Prabu Basupati terheran-heran karena merasa tidak memiliki kakak. Namun karena penasaran, ia pun menurut saja menyertai laki-laki berwarna kuning itu. Ternyata di dalam istana emas tersebut telah duduk menunggu raja pria dan ratu wanita, serta tiga orang laki-laki lainnya, yang berwarna putih, merah, dan hitam. Laki-laki kuning tadi lalu bergabung dengan mereka. Dengan demikian, ada enam sosok makhluk gaib yang menyambut kedatangan Prabu Basupati.

Prabu Basupati sendiri bimbang karena raja pria dan ratu wanita itu mengaku sebagai kakaknya. Raja pria pun menjelaskan bahwa setiap manusia yang terlahir di dunia ini tidaklah sendiri, tetapi bersama keenam saudaranya. Dua yang tertua berwujud raja pria dan ratu wanita disebut Marmati, yang lahir lewat dada, yaitu wujud kecemasan ibu saat  hendak melahirkan. Yang lahir selanjutnya adalah saudara berwarna putih yang disebut Kawah, yaitu perwujudan dari air ketuban. Setelah itu lahir si bayi, dan dilanjutkan dengan kelahiran ketiga saudara lainnya, yaitu Ari-Ari yang berwarna kuning, Getih atau darah yang berwarna merah, dan Pusar yang berwarna hitam. Mereka semua inilah yang disebut Sedulur Papat Lima Pancer, atau saudara empat lima pusat yang selalu menyertai manusia, meskipun manusia sering tidak menyadarinya.

Raja pria itu menjelaskan kepada Prabu Basupati bahwa alangkah baiknya manusia merawat dan mengingat keberadaan para saudara yang tidak kelihatan itu, dan mereka pun siang malam akan selalu menjaga manusia tersebut. Prabu Basupati juga diajari cara melakukan sesaji kepada para saudara gaib untuk disebarluaskan kepada masyarakat Jawa. Selain itu, raja pria juga mengajarkan doa dan mantra yang hendaknya diucapkan setiap melakukan pekerjaan, supaya para saudara gaib senantiasa menemani dan membantu kelancaran pekerjaan itu. Jika akan tidur hendaknya doa dibaca pula supaya para saudara gaib memberikan penjagaan. Juga jika akan membuang kotoran hendaknya dibaca supaya para saudara gaib membantu membersihkan isi tubuh. Kelak jika tiba waktunya ajal, hendaknya yang dibaca adalah mantra pengruwatan supaya para saudara gaib itu ikut tersucikan dan tidak menjadi perusuh di dunia.

Dengan senang hati, Prabu Basupati mematuhi ajaran kakak gaibnya tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke alam nyata untuk kemudian menyebarluaskan apa yang telah ia dapatkan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar