Senin, 28 Maret 2016

Pandu Lahir


Kisah ini menceritakan kelahiran putra-putra Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Kuru (Dretarastra), Raden Pandu (Dewayana), dan Raden Widura (Yamawidura). Juga dikisahkan tentang Prabu Cidamuka raja Srawantipura yang berniat menjadikan Raden Pandu sebagai tumbal untuk meredakan wabah penyakit yang sedang melanda negerinya.

Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 28 Maret 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Kresna Dwipayana

DEWI AMBIKA MELAHIRKAN BAYI TUNANETRA

Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap Resiwara Bisma dari Padepokan Talkanda, serta para menteri dan punggawa, antara lain Resi Jawalagni dan Patih Jayayatna. Mereka sedang membicarakan kedua janda mendiang Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika yang telah dinikahi Prabu Kresna Dwipayana dan kini masing-masing sedang mengandung. Menurut perkiraan Sang Prabu, tidak lama lagi kedua permaisuri tersebut akan segera melahirkan.

Benar juga, ketika mereka sedang membicarakan masalah tersebut, tiba-tiba muncul sang ibu suri yaitu Dewi Durgandini yang mengabarkan bahwa Dewi Ambika sudah melahirkan. Prabu Kresna Dwipayana segera membubarkan pertemuan dan bergegas masuk ke dalam kedaton bersama Resiwara Bisma.

Sesampainya di dalam kedaton, Prabu Kresna Dwipayana segera menemui Dewi Ambika yang sedang bersama bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi tersebut berkelamin laki-laki dan setelah diperiksa ternyata bermata buta. Dewi Durgandini dan Resiwara Bisma prihatin mendengarnya. Prabu Kresna Dwipayana pun menjelaskan bahwa kelahiran bayi tunanetra ini sudah menjadi suratan takdir, karena Dewi Ambika ketika bersetubuh dengannya selalu memejamkan mata.

Dewi Ambika malu dan menyesal mendengarnya. Ia berterus terang bahwa saat bersetubuh dengan Prabu Kresna Dwipayana memang selalu memejamkan mata. Itu karena ia merasa sangat takut melihat wujud Sang Prabu yang berkulit hitam legam seperti arang. Tak disangka, kini ia mendapatkan balak yaitu melahirkan seorang putra yang tidak dapat melihat.

Demikianlah, Prabu Kresna Dwipayana ikhlas menerima keadaan putra sulungnya yang tunanetra itu dan ia pun memberinya nama Raden Kuru.

DEWI AMBALIKA MELAHIRKAN BAYI KEMBAR SIAM

Tidak lama kemudian para dayang melaporkan bahwa Dewi Ambalika juga melahirkan bayi laki-laki yang berjumlah dua sekaligus. Prabu Kresna Dwipayana, Dewi Durgandini, dan Resiwara Bisma segera memeriksa ke dalam kamar. Mereka terkejut melihat kedua bayi laki-laki itu ternyata kembar siam, yaitu kaki kiri bayi yang satu menempel pada leher bayi yang lain.

Dewi Ambalika menangis memohon agar Prabu Kresna Dwipayana meruwat kedua bayi tersebut agar terpisah satu sama lain. Prabu Kresna Dwipayana segera membaca mantra kemudian mengiris bagian yang menempel pada kedua bayi tersebut dengan hati-hati. Keduanya kini terpisah, namun menderita cacat untuk selamanya. Bayi yang pertama berleher tengleng atau selalu menoleh dan tidak dapat menggerakkan lehernya, sedangkan bayi yang satunya berkaki pincang sebelah kiri.

Prabu Kresna Dwipayana melihat kedua bayi tersebut berkulit kuning pucat. Ini merupakan pengingat bahwa dulu ketika bersetubuh dengan dirinya, Dewi Ambalika ketakutan sampai pucat sekujur tubuhnya. Itulah sebabnya ia mendapatkan balak, yaitu mendapatkan dua orang putra yang berkulit kuning pucat.

Prabu Kresna Dwipayana pun menetapkan bayi yang berleher tengleng sebagai yang lebih tua dan memberinya nama Raden Pandu, sedangkan bayi yang berkaki pincang ditetapkan sebagai yang lebih muda, dan diberi nama Raden Widura.

PRABU SWALACALA MENJADI RAJA TUNGGULMALAYA

Sementara itu di Kerajaan Tunggulmalaya, Prabu Karditya baru saja meninggal dunia karena sakit. Prabu Karditya ini adalah salah satu dari tujuh orang raja yang pernah menyerang Kerajaan Hastina saat pemerintahan Prabu Citrawirya dulu. Dari ketujuh orang itu sebanyak lima orang tewas dalam pertempuran, sedangkan sisanya yang dua orang menyerah kalah dan mendapat pengampunan dari mendiang Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya. Kedua raja tersebut adalah Prabu Sapwani dari Kerajaan Sindu Banakeling dan Prabu Karditya dari Kerajaan Tunggulmalaya. Kedua raja taklukan itu telah bersumpah setia tidak akan lagi mengganggu Kerajaan Hastina.

Kini Prabu Karditya telah meninggal dunia karena sakit. Takhta Kerajaan Tunggulmalaya kemudian diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Swalacala. Adapun yang menjadi patih adalah putra kedua, yaitu Patih Wisudarya, dan yang menjadi panglima adalah putra ketiga, yaitu Arya Pramuseta.

Setelah masa berkabung usai, Prabu Swalacala berniat pergi ke Kerajaan Hastina untuk melaporkan perihal kematian ayahnya dan juga tentang pelantikan dirinya sebagai raja yang baru kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma. Patih Wisudarya dan Arya Pramuseta ikut menyertai.

PRABU CIDAMUKA HENDAK MENUMBALI NEGARANYA

Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Cidamuka yang memimpin Kerajaan Srawantipura. Saat itu Kerajaan Srawantipura sedang dilanda wabah penyakit. Banyak penduduknya yang jatuh sakit dan meninggal dunia dalam waktu singkat. Prabu Cidamuka yang merupakan pemuja Batara Kala memutuskan untuk mengadakan sesaji demi mengatasi wabah tersebut. Batara Kala pun turun dari kahyangan menerima sesaji untuknya. Ia lalu memberikan petunjuk agar Prabu Cidamuka menyembelih putra kedua Prabu Kresna Dwipayana raja Hastina sebagai tumbal jika ingin memadamkan wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Srawantipura. Adapun putra kedua Prabu Kresna Dwipayana itu bernama Raden Pandu yang baru saja lahir ke dunia.

Setelah Batara Kala kembali ke kahyangan, Prabu Cidamuka segera menyampaikan hal itu kepada Patih Aswanindya yang merupakan pamannya sendiri. Ia pun mengutus Sang Patih berangkat ke Kerajaan Hastina dengan membawa sejumlah emas permata untuk ditukar dengan Raden Pandu, putra kedua Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Jika pihak Hastina menolak menyerahkan bayi itu, maka Patih Aswanindya harus merebutnya melalui peperangan.

Patih Aswanindya mematuhi perintah rajanya. Ia lalu mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.

PATIH ASWANINDYA BERPERANG MELAWAN PRABU SWALACALA

Patih Aswanindya berserta pasukan Srawantipura berpapasan dengan rombongan Prabu Swalacala yang juga sama-sama hendak menuju ke Kerajaan Hastina. Mereka saling bertanya ada keperluan apa hendak menemui Prabu Kresna Dwipayana. Patih Aswanindya pun menjawab terus terang bahwa ia diutus rajanya untuk membeli putra kedua raja Hastina yang bernama Raden Pandu dengan emas permata. Rencananya Raden Pandu akan disembelih sebagai tumbal untuk meredakan wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Srawantipura.

Prabu Swalacala merasa aneh dengan jawaban Patih Aswanindya. Tidak mungkin ada ceritanya seorang bapak menyerahkan anaknya untuk disembelih orang lain sebagai tumbal, meskipun ditukar dengan emas permata. Patih Aswanindya tidak peduli karena ia telah diberi wewenang oleh rajanya untuk merebut Raden Pandu melalui peperangan.

Prabu Swalacala sebagai sekutu Kerajaan Hastina tidak terima atas hal ini. Ia pun menantang Patih Aswanindya berperang melawan dirinya terlebih dulu sebelum berperang melawan Kerajaan Hastina. Patih Aswanindya pun melayani tantangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran di antara mereka. Hingga akhirnya, Patih Aswanindya dan Prabu Swalacala sama-sama gugur karena keduanya memiliki kesaktian yang setara.

Patih Wisudarya dan Arya Pramuseta yang berhasil memukul mundur pasukan Srawantipura terkejut dan sedih melihat kakak mereka tewas bersama musuh. Mereka lalu membagi tugas. Arya Pramuseta kembali ke Kerajaan Tunggulmalaya dengan membawa jasad Prabu Swalacala, sedangkan Patih Wisudarya melanjutkan perjalanan ke Hastina untuk melaporkan peristiwa ini kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MELANTIK PRABU WISUDARYA

Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma di Kerajaan Hastina menerima kedatangan Patih Wisudarya yang melaporkan tentang kematian Prabu Karditya (ayahnya), serta Prabu Swalacala (kakaknya). Ia juga menceritakan tentang kemungkinan adanya serangan dari Kerajaan Srawantipura yang ingin menjadikan Raden Pandu sebagai tumbal.

Prabu Kresna Dwipayana prihatin mendengarnya. Ia berterima kasih dan sangat terharu atas pengorbanan Prabu Swalacala yang menjadi perisai bagi Kerajaan Hastina. Atas usul Resiwara Bisma, Prabu Kresna Dwipayana pun mengangkat Patih Wisudarya sebagai raja Tunggulmalaya yang baru, sedangkan kedudukannya sebagai patih hendaknya digantikan oleh Arya Pramuseta.

PRABU CIDAMUKA MENCULIK RADEN PANDU

Sementara itu di Kerajaan Srawantipura, Prabu Cidamuka sangat marah dan sedih mendengar berita kematian Patih Aswanindya yang merupakan pamannya itu. Ia pun mengerahkan seluruh pasukan Srawantipura untuk berangkat menggempur Kerajaan Hastina.

Di lain pihak, Kerajaan Hastina telah bersiaga menghadapi serangan tersebut berkat laporan dari Patih Wisudarya. Maka, terjadilah perang besar di antara mereka. Dalam waktu singkat, pasukan Hastina berhasil menghancurkan serangan dari Srawantipura itu.

Prabu Cidamuka membiarkan pasukannya ditumpas habis oleh pihak lawan, sedangkan dirinya memutar dan menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina. Ia pun merebut Raden Pandu yang sedang digendong Dewi Ambalika dan kemudian melarikan diri sekencang-kencangnya.

PRABU CIDAMUKA DIHADANG JAKA BANDUWANGKA

Prabu Cidamuka berlari sambil menggendong bayi Raden Pandu meninggalkan Kerajaan Hastina. Namun, di tengah jalan ia dihadang oleh seorang pemuda bernama Jaka Banduwangka dari Desa Supa. Awalnya pemuda itu ingin pergi ke istana untuk mendaftar sebagai prajurit. Namun ternyata, Kerajaan Hastina sedang berperang menghadapi serangan Srawantipura yang konon kabarnya ingin merebut putra kedua Prabu Kresna Dwipayana yang baru saja lahir.

Melihat ada seorang raja menggendong bayi dengan terburu-buru, Jaka Banduwangka curiga jangan-jangan dia adalah Prabu Cidamuka yang berhasil menculik Raden Pandu. Pemuda itu segera menghadang dan berusaha merebut bayi tersebut. Maka terjadilah pertarungan di antara mereka.

Prabu Cidamuka sangat berhati-hati dalam pertarungan kali ini karena ia tidak ingin bayi yang diculiknya meninggal sebelum disembelih di Kerajaan Srawantipura. Sebaliknya, Jaka Banduwangka juga tidak berani bertindak gegabah karena takut Raden Pandu terluka.

Pada saat itulah Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma datang mengejar Prabu Cidamuka setelah mendapatkan laporan dari Dewi Ambalika. Karena merasa terdesak, Prabu Cidamuka menjadi lengah dan bayi Raden Pandu berhasil direbut oleh Jaka Banduwangka. Resiwara Bisma segera maju menyerang Prabu Cidamuka dan dalam waktu singkat raja Srawantipura itu berhasil ditewaskan.

JAKA BANDUWANGKA MENJADI PUNGGAWA HASTINA

Prabu Kresna Dwipayana berterima kasih atas perjuangan Jaka Banduwangka dalam merebut Raden Pandu dari tangan penculik. Ia pun menawarkan hadiah emas permata kepada pemuda itu. Namun, Jaka Banduwangka menolak dengan sopan karena tujuannya meninggalkan Desa Supa hanyalah ingin mengabdi sebagai prajurit di Kerajaan Hastina.

Prabu Kresna Dwipayana terkesan mendengarnya. Ia pun menerima pengabdian Jaka Banduwangka, bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai punggawa Kerajaan Hastina. Jaka Banduwangka sangat berterima kasih atas anugerah ini. Maka, sejak saat itu ia pun berhak memakai nama Arya Banduwangka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------












Tidak ada komentar:

Posting Komentar