Minggu, 10 Agustus 2014

Resi Siwandakara

Kisah ini menceritakan persekutuan antara Batara Siwah dalam wujud Sri Maharaja Balya dengan Batara Kala dalam wujud Resi Siwandakara. Mereka berniat menaklukkan Kahyangan Suralaya, namun dikalahkan oleh seorang cebol dan seekor banteng sakti, penjelmaan Batara Wisnu dan Batara Brahma.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Resi Siwandakara.

BATARA KALA MENJADI RESI SIWANDAKARA

Di Pulau Nusakambangan, Batara Kala merenungi nasibnya yang gagal mencari mangsa golongan Sukerta dan Sengkala akibat campur tangan Ki Dalang Kandabuwana penjelmaan Batara Wisnu. Ia merasa iri pada kehebatan kakaknya itu, dan memutuskan untuk pergi bertapa agar bertambah ilmu kesaktiannya.

Batara Kala pun memilih Hutan Tulyan sebagai tempatnya bertapa. Berbulan-bulan lamanya ia bersamadi mengendalikan hawa nafsu, membuat kesaktian dan kecerdasannya berkembang pesat. Tidak hanya itu, ia juga menyusun jenis agama baru sebagai pecahan Agama Dewa, yang disebut dengan nama Agama Kala. Semakin hari jumlah murid dan pengikutnya semakin bertambah banyak. Ia lalu mendirikan padepokan sebagai tempat mengajar dan berganti nama menjadi Resi Siwandakara.

SRI MAHARAJA BALYA MENGIRIM SERANGAN KE HUTAN TULYAN

Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda dihadap Resi Kuramba selaku raja bawahan di Kerajaan Medang Pura. Mereka membicarakan adanya agama baru bernama Agama Kala yang diajarkan oleh seorang brahmana berwujud raksasa, bernama Resi Siwandakara. Sri Maharaja Balya merasa resah karena banyak pengikut Agama Siwah yang beralih memeluk Agama Kala. Maka, Resi Kuramba pun dikirim untuk memanggil Resi Siwandakara datang ke Medang Siwanda.

Resi Kuramba membawa pasukan gabungan Medang Siwanda dan Medang Pura mendatangi Resi Siwandakara di padepokan Hutan Tulyan. Terjadilah percakapan antara dirinya dengan resi berwujud raksasa itu yang berlanjut dengan perdebatan adu kepandaian. Resi Kuramba kalah perbawa dan memaksa Resi Siwandakara ikut dengannya ke Medang Siwanda dengan menggunakan kekerasan.

Resi Siwandakara melawan sehingga terjadilah pertempuran. Resi Kuramba dan pasukannya merasa terdesak kewalahan. Mereka tidak mampu menghadapi kesaktian Resi Siwandakara, sehingga terpaksa mundur kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA MEMELUK AGAMA KALA

Sri Maharaja Balya menerima laporan Resi Kuramba yang gagal menjalankan tugasnya. Hatinya tersinggung mendengar Resi Kuramba memuji-muji kepandaian dan kesaktian Resi Siwandakara. Sri Maharaja Balya sangat murka dan mengusir pergi Resi Kuramba dari Kerajaan Medang Siwanda. Resi Kuramba lalu kembali ke wujud semula, yaitu Batara Singajalma, dan ia melesat pergi menuju kahyangan.

Sri Maharaja Balya kemudian berangkat sendiri ke Hutan Tulyan menemui Resi Siwandakara. Keduanya terlibat perdebatan adu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertarungan adu kesaktian. Akhirnya, Sri Maharaja Balya harus mengakui bahwa lawannya lebih unggul, dan ia pun menyatakan tunduk kepada Agama Kala.

Sri Maharaja Balya lalu membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang Siwanda sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga berkembang semakin luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Di antara para raja yang bergabung dengan mereka adalah seorang raja gandarwa bernama Prabu Waka dan seorang raja raksasa bernama Prabu Citraksa.

SRI MAHARAJA BALYA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA


Agama Dewa di Pulau Jawa kini hanya tinggal dua aliran saja yang berkembang pesat, yaitu Agama Kala dan Agama Indra. Para pengikut kedua aliran ini banyak yang terlibat perselisihan dan perkelahian, karena sama-sama merasa paling benar. Batara Indra sendiri akhirnya turun tangan dan mengirim surat ke Kerajaan Medang Siwanda supaya Sri Maharaja Balya beralih memeluk Agama Indra. Tentu saja hal ini membuat Sri Maharaja Balya sangat marah dan segera mengirim pasukan untuk menyerang Kahyangan Suralaya.

Pasukan Kerajaan Medang Siwanda yang dipimpin Patih Siwandakara, Prabu Waka, dan Prabu Citraksa berangkat menyerbu Gunung Mahameru. Sesampainya di sana mereka berhadapan dengan pasukan Kahyangan Suralaya yang dipimpin Kapi Malawapati. Pertempuran besar pun terjadi. Pihak kahyangan mengalami kekalahan di mana Kapi Malawapati tewas di tangan Patih Siwandakara.

Melihat panglimanya mati, pasukan jawata pun kocar-kacir dan mundur ke dalam Kahyangan Suralaya, kemudian menutup pintu gerbang rapat-rapat.

KEDUA PIHAK MEMBUAT SENJATA PUSAKA


Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas orang.

Kelima belas jawata pembuat senjata itu adalah Batara Ramayana, Batara Ramakandi, Batara Ramakandeya, Batara Isakandi, Batara Ramadewa, Batara Dewayana, Batara Widayana, Batara Kanditan, Batara Kandihawa, Batara Ramabada, Batara Janabada, Batara Indrabada, Batara Hirabada, Batara Amidabada, dan Batara Sekandrabada.

Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan memasang tumbal penolak balak untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan kelima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang menghempaskan Patih Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.

Patih Siwandakara segera melapor kepada Sri Maharaja Balya mengenai usaha Batara Indra yang memerintahkan para empu jawata membuat senjata pusaka. Untuk mengimbangi hal itu, Sri Maharaja Balya pun memerintahkan menantunya yang bernama Batara Wiswakadi untuk membuat senjata pusaka pula. Batara Wiswakadi segera melaksanakan perintah tersebut bersama sepupunya yang bernama Batara Wiswakarma.

UNDANGAN DUA JIN WANITA DARI LAUTAN

Pada suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra, bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan.

Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk mengajarkan Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka lalu berangkat bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah lautan.

Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya menikahi Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama.

Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA KALAH PERANG


Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu untuk membantu Batara Indra menghadapi angkara murka Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama Jaka Wamana, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti bertubuh besar.

Jaka Wamana menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya terkejut dan menanyakan asal-usul serta tujuan orang cebol itu yang berani menghadang perjalanannya. Jaka Wamana menjawab bahwa ia telah turun dari langit untuk menghukum keserakahan Sri Maharaja Balya.

Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wamana yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wamana menjawab bahwa kesaktian itu hanyalah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Sri Maharaja Balya tersinggung dan memperkenalkan bahwa dirinya adalah orang yang hendak dihukum Jaka Wamana itu. Jaka Wamana dan si banteng besar segera menantang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara berkelahi. Tantangan itu diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka.

Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi kesaktian Jaka Wamana. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu mengalahkan banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara pun mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung. Anehnya, Jaka Wamana juga mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih besar lagi. Kakinya amblas ke dasar bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di luar angkasa.

Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang dilemparkan raksasa penjelmaan Jaka Wamana. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit dan menyerah kalah.

Sri Maharja Balya bertobat menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia lalu kembali ke wujud Batara Siwah dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu, Patih Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan dendam kesumat. Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Nusakambangan untuk kembali bertapa demi menambah kesaktian.

BATARA BRAHMA MENJADI RAJA MEDANG SIWANDA

Ratu Adiyana dan Patih Adiyati berlutut memohon ampun di hadapan Jaka Wamana dan si banteng api, begitu pula dengan para pengikut Sri Maharaja Balya yang lain. Jaka Wamana lalu kembali ke wujud Batara Wisnu, sedangkan si banteng api kembali ke wujud Batara Brahma. Mereka memberikan pengampunan kepada kedua jin wanita itu, serta menerima pengabdian para pengikut Sri Maharaja Balya yang terdiri dari berbagai golongan.

Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud makhluk kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu memimpin pengikut yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan gandarwa.

Batara Brahma kemudian menduduki takhta Kerajaan Medang Siwanda dengan bergelar Sri Maharaja Budawaka, serta menikahi Dewi Adiyana sebagai permaisuri. Sementara itu, Batara Wisnu menikahi Dewi Adiyati dan masuk ke alam sunyaruri untuk menjadi pemimpin di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------






Tidak ada komentar:

Posting Komentar