Kamis, 23 Juni 2016

Rukma - Ugrasena Krama


Kisah ini menceritakan perkawinan Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta perkawinan Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Pada umumnya kedua cerita tersebut dipentaskan sendiri-sendiri. Namun, karena kisahnya hampir mirip, maka saya mencoba menggabungkannya menjadi satu lakon saja.

Kisah ini saya kembangkan dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka, yang saya padukan dengan buku Reroncen Balungan Lampahan Ringgit Purwa, karya Ki Bondhan Hargana.

Kediri, 23 Juni 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena

KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA DISERANG PASUKAN RAKSASA

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa, antara lain Batara Narada dari Sidikpangudal-udal, Batara Brama dari Daksinageni, dan Batara Indra dari Suralaya. Mereka sedang membicarakan perihal Batara Wisnu yang telah lahir ke dunia sebagai manusia, yaitu menitis kepada putra Prabu Basudewa yang bernama Raden Narayana, serta putra Prabu Pandu yang bernama Raden Permadi. Sebagai pendamping, ikut menitis pula Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki yang terlahir sebagai Raden Kakrasana putra Prabu Basudewa. Kini Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Raden Permadi telah berusia tujuh tahun. Raden Kakrasana dan Raden Narayana dibesarkan di Desa Widarakandang, sedangkan Raden Permadi dibesarkan di Kerajaan Hastina.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba datang dua raksasa yang mengaku bernama Patih Kaladirga dari Kerajaan Guamiring dan Patih Kalaruci dari Kerajaan Paranggubarja. Raja Guamiring yang bernama Prabu Sasradewa dan raja Paranggubarja yang bernama Prabu Garbaruci adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama memiliki keinginan memperistri bidadari kahyangan. Untuk itu, Prabu Sasradewa mengutus Patih Kaladirga untuk melamar Batari Arumbini, sedangkan Prabu Garbaruci mengutus Patih Kalaruci untuk melamar Batari Wresini. Kedua patih raksasa itu pun berangkat bersama-sama ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk menyampaikan pinangan tersebut kepada Batara Guru selaku raja para dewa. Mereka juga berkata telah diberi wewenang penuh oleh raja masing-masing untuk memboyong kedua bidadari tersebut, baik secara halus maupun kasar.

Batara Brama dan Batara Indra tersinggung mendengar ucapan kedua raksasa yang bernada menantang itu. Mereka pun mempersilakan keduanya untuk menunggu di lapangan Repatkepanasan, karena di sanalah Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan. Mendengar itu, Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci segera mohon pamit, keluar meninggalkan Balai Marcukunda.

PASUKAN DEWATA DIKALAHKAN PASUKAN RAKSASA

Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci yang telah berada di luar Balai Marcukunda segera menyiagakan pasukan raksasa dari Kerajaan Guamiring dan Paranggubarja. Mereka pun bersiap untuk menghadapi pasukan dewata yang dipimpin Batara Brama dan Batara Indra.

Tidak lama kemudian, Batara Brama dan Batara Indra muncul memimpin pasukan kahyangan, yang biasa disebut pasukan Dorandara. Begitu kedua pihak bertemu, terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci mampu membuktikan kesombongan mereka. Kedua raksasa itu ternyata memiliki kesaktian tinggi yang mampu membuat Batara Brama dan Batara Indra terdesak mundur.

Melihat pihak dewata kewalahan, Batara Narada segera maju melerai mereka. Kepada kedua patih raksasa tersebut, Batara Narada menyampaikan pesan bahwa kedua bidadari, yaitu Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan tapi menunggu waktu yang baik, yaitu hari Selasa Kliwat atau Anggara Kasep, tanggal tiga puluh dua, bulan Jumadilawas, tahun Bebas, bersamaan dengan terbitnya matahari dari barat.

Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci merasa bingung namun Batara Narada berhasil meyakinkan mereka. Kedua patih raksasa itu lalu membawa pasukan mereka untuk mundur dan berkemah di kaki Gunung Jamurdipa.

Setelah pasukan raksasa itu pergi, Batara Narada segera menjelaskan kepada Batara Brama, Batara Indra, dan para dewa lainnya bahwa musuh kahyangan hanya bisa dikalahkan oleh jago kahyangan. Menurut petunjuk Batara Guru, manusia yang bisa menjadi jago para dewa saat ini adalah kakak beradik dari Kerajaan Mandura, yaitu saudara muda Prabu Basudewa yang bernama Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Untuk itu, Batara Narada pun diperintahkan berangkat menjemput mereka naik ke kahyangan.

KISAH AIB DI KERAJAAN MANDURA

Batara Narada berhasil menemukan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sedang bertapa di Hutan Jatirokeh. Ia pun turun dari angkasa membangunkan kedua pangeran tersebut. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena membuka mata lalu mereka buru-buru menyembah hormat kepada Batara Narada.

Batara Narada bertanya apa yang menjadi tujuan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bertapa di Hutan Jatirokeh. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa ia dan adiknya telah diusir dari Kerajaan Mandura oleh sang kakak, yaitu Prabu Basudewa. Pada mulanya Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama menyukai penyanyi istana yang bernama Ken Yasoda. Namun kemudian, Prabu Basudewa menyerahkan Ken Yasoda yang sedang hamil kepada Kyai Antyagopa, putra Buyut Gupala. Kyai Antyagopa lalu dijadikan sebagai kepala Desa Widarakandang, bergelar Buyut Antyagopa, sedangkan Ken Yasoda diganti namanya menjadi Nyai Sagopi.

Prabu Basudewa lalu menugasi Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk mengasuh ketiga anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya, sesuai petunjuk dewata. Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya itu, Aryaprabu Rukma pun berkunjung ke Desa Widarakandang untuk menemui Nyai Sagopi. Dengan segala bujuk rayu serta ancaman, Aryaprabu Rukma akhirnya bisa melampiaskan nafsunya kepada Nyai Sagopi, tanpa sepengetahuan Buyut Antyagopa.

Arya Ugrasena yang juga menyukai Nyai Sagopi pun menggunakan cara sama. Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya, ia berhasil pula melampiaskan nafsu birahi kepada istri Buyut Antyagopa tersebut.

Setelah peristiwa aib tersebut, Nyai Sagopi pun mengandung. Pada awalnya Buyut Antyagopa marah ketika mengetahui istrinya telah berselingkuh dengan dua pangeran sekaligus. Akan tetapi, pada suatu malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa janin yang dikandung Nyai Sagopi kelak akan menjadi orang-orang mulia. Sudah menjadi takdir Yang Mahakuasa bahwa benih yang ditanam Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama hidup di dalam rahim Nyai Sagopi dan berkembang menjadi janin perempuan dan laki-laki.

Janin perempuan dalam rahim Nyai Sagopi itu berasal dari benih Aryaprabu Rukma, jika kelak lahir ke dunia hendaknya diberi nama Rara Sati, dan diakui sebagai putri Buyut Antyagopa. Nanti setelah dewasa ia akan menjadi prajurit wanita tangguh dan menikah dengan Raden Arjuna, putra Prabu Pandu Dewanata. Sementara itu, janin yang laki-laki berasal dari benih Arya Ugrasena, kelak jika lahir hendaknya diserahkan kepada Kyai Adirata di Desa Petapralaya, supaya diberi nama Adimanggala dan dipersaudarakan dengan putra angkatnya yang bernama Karna Basusena. Nanti setelah dewasa, apabila Karna Basusena menjadi raja, maka Adimanggala akan ikut mendapat kemuliaan sebagai patihnya.

Demikianlah, Buyut Antyagopa lalu pergi ke istana Mandura untuk menceritakan petunjuk dewata tersebut kepada Prabu Basudewa. Ia mengaku ikhlas dan tidak sakit hati meskipun istrinya dihamili dua pangeran Mandura sekaligus. Ia justru merasa ini mungkin sudah menjadi tugas dari Nyai Sagopi untuk mengandung dan melahirkan orang-orang mulia di kemudian hari. Setelah bercerita demikian, Buyut Antyagopa lalu mohon pamit pulang ke Widarakandang.

Kebaikan hati Buyut Antyagopa justru membuat Prabu Basudewa merasa sangat malu. Ia pun memanggil dan memarahi Aryaprabu Rukma serta Arya Ugrasena. Mengenai aib ini hendaknya menjadi rahasia dan jangan sampai didengar oleh rakyat, karena akan mencoreng wibawa Kerajaan Mandura. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena untuk segera menikah dengan wanita lain agar mereka bisa melupakan sosok Nyai Sagopi. Prabu Basudewa juga melarang kedua adiknya mengunjungi Desa Widarakandang karena tidak pantas dua pangeran Mandura berhubungan dengan bekas pelayan istana yang kini sudah menjadi istri orang.

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena agak tersinggung mendengar ucapan kakaknya. Tanpa sengaja mereka pun mengungkit peristiwa sembilan tahun yang lalu saat Prabu Basudewa berhubungan dengan Nyai Sagopi yang masih bernama Ken Yasoda. Dari hubungan itu telah lahir seorang putra yang diberi nama Udawa, yang kini diakui sebagai putra sulung Buyut Antyagopa.

Mendengar aibnya diungkit, Prabu Basudewa semakin marah dan mengusir kedua adiknya itu. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena ketakutan dan segera pergi meninggalkan istana Mandura.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI JAGO KAHYANGAN

Demikianlah, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bercerita kepada Batara Narada tentang latar belakang kenapa mereka pergi dari istana. Tujuan mereka bertapa di Hutan Jatirokeh adalah untuk meminta petunjuk dewata tentang siapa wanita yang bisa menjadi jodoh mereka. Karena hanya dengan memiliki istri, maka mereka bisa diterima kembali oleh Prabu Basudewa dan mendapatkan maaf dari sang kakak.

Batara Narada pun berkata bahwa jodoh Aryaprabu Rukma adalah Batari Arumbini, sedangkan jodoh Arya Ugrasena adalah Batari Wresini. Kedua bidadari tersebut kini sedang dilamar oleh Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci untuk menjadi istri raja-raja mereka. Batara Narada berkata bahwa kedua bidadari itu akan diserahkan kepada Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena asalkan mereka mampu menumpas pasukan raksasa yang kini mengepung Kahyangan Jonggringsalaka.

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menyatakan bersedia. Batara Narada senang mendengarnya dan segera membawa mereka naik menuju kahyangan.

KEMATIAN PATIH KALARUCI DAN PATIH KALADIRGA

Begitu sampai di Kahyangan Jonggringsalaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menjalankan tugas. Mereka pun memimpin pasukan Dorandara menggempur perkemahan para raksasa di kaki Gunung Jamurdipa. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih Kaladirga bertarung melawan Aryaprabu Rukma, sedangkan Patih Kalaruci bertarung melawan Arya Ugrasena. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kedua patih raksasa yang sakti itu akhirnya tewas di tangan dua pangeran dari Mandura tersebut.

Melihat pemimpin mereka tewas, para prajurit raksasa pun berhamburan melarikan diri, meninggalkan Gunung Jamurdipa.

PRABU SASRADEWA DAN PRABU GARBARUCI DATANG MENYERANG

Berita kematian Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci telah terdengar oleh Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Kedua raja yang satu perguruan itu pun marah dan berangkat menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menghadang mereka dan terjadilah pertempuran sengit. Prabu Sasradewa berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan melemparkan tubuhnya jauh-jauh, begitu pula dengan Prabu Garbaruci yang berhasil menangkap dan melemparkan tubuh Arya Ugrasena.

Melihat kedua jago kahyangan telah kalah dan tidak diketahui nasibnya, Batara Guru pun memerintahkan Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata untuk menutup rapat-rapat pintu gerbang kahyangan, yaitu Kori Selamatangkep. Dengan demikian, Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci pun tertahan di luar tanpa bisa masuk ke dalam kahyangan.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENDAPAT BANTUAN PRABU PANDU

Sementara itu, tubuh Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang terlempar jauh akhirnya jatuh di Hutan Mandalasana. Saat itu Prabu Pandu bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berada di dalam hutan tersebut untuk mengunjungi putranya yang nomor dua, yaitu Raden Bima yang masih berada di dalam bungkus sejak lahir.

Melihat kedua adik iparnya jatuh dari kahyangan, Prabu Pandu segera mendatangi dan mengobati mereka. Setelah Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena pulih dari luka, mereka pun ingin kembali ke kahyangan untuk menghadapi kedua musuh tadi. Prabu Pandu menyatakan siap membantu. Ia meminjamkan pusaka Panah Mustikajamus dan Keris Pulanggeni kepada kedua adik iparnya itu, kemudian ikut bersama menemani mereka kembali naik ke kahyangan.

Demikianlah, setelah mendapat bantuan senjata pusaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena kembali menantang Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Akhirnya, Prabu Sasradewa pun tewas terkena Panah Mustikajamus yang dilepaskan Aryaprabu Rukma, sedangkan Prabu Garbaruci tewas tertusuk Keris Pulanggeni di tangan Arya Ugrasena.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MEMBOYONG DUA BIDADARI

Batara Guru dan segenap para dewa berterima kasih kepada Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena atas jasa mereka menumpas musuh kahyangan, juga kepada Prabu Pandu Dewanata yang telah memberikan bantuan kepada mereka.

Sesuai janji di awal, Batara Guru pun menyerahkan Batari Arumbini kepada Aryaprabu Rukma, serta Batari Wresini kepada Arya Ugrasena. Kedua pangeran itu berterima kasih, lalu mohon diri memboyong para bidadari tersebut ke Kerajaan Mandura dengan ditemani Prabu Pandu dan para panakawan.

PRABU BASUDEWA MENIKAHKAN ADIK-ADIKNYA

Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura menyambut kepulangan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang masing-masing telah membawa bidadari sebagai calon istri. Prabu Basudewa pun meminta maaf karena telah berlaku kasar mengusir kedua adiknya itu. Sebaliknya, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena juga meminta maaf karena telah menyinggung perasaan sang kakak.

Demikianlah, pada hari yang dianggap baik dilaksanakan upacara perkawinan antara Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Upacara pernikahan ganda ini berlangsung meriah dan banyak dihadiri para tamu serta undangan.

Tiba-tiba kemeriahan tersebut diganggu oleh datangnya serangan dari adik kandung Prabu Garbaruci yang bernama Raden Garbanata dari Kerajaan Paranggubarja. Prabu Pandu segera turun tangan membantu pihak Mandura. Dengan cekatan ia berhasil meringkus Raden Garbanata dan menyerahkannya kepada Prabu Basudewa.

Prabu Basudewa bersedia mengampuni Raden Garbanata asalkan ia bersumpah tidak lagi mengganggu ketenangan Kerajaan Mandura. Raden Garbanata terkesan atas kebaikan hati Prabu Basudewa dan ia pun bersumpah tidak akan mengganggu Kerajaan Mandura lagi.

Prabu Basudewa senang mendengarnya. Ia pun mempersilakan Raden Garbanata untuk menjadi raja Paranggubarja, menggantikan kakaknya yang telah meninggal. Raden Garbanata berterima kasih, dan sejak saat itu ia pun memakai gelar Prabu Garbanata. Ia juga mengganti nama Kerajaan Paranggubarja menjadi Kerajaan Garbaruci, untuk mengenang mendiang kakaknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------










Tidak ada komentar:

Posting Komentar